Rabu, 04 Maret 2009

Eligibilitas Guru Non-PNS demi Profesionalitas

OPINI 12 September 2008

oleh : FX Triyas Hadi Prihantoro

PPernyataan Menteri Pendidikan Nasional Bambang Sudibyo mulai tahun 2009 akan meningkatkan kesejahteraan guru dan dosen 14-15 persen, menyusul meningkatnya anggaran pendidikan Rp 46,1 triliun tidak serta merta membawa angin segar bagi semua guru. Khususnya guru yang berstatus non-PNS (guru swasta).

Mendiknas juga menjelaskan bahwa honor guru honorer atau guru non-PNS akan dinaikkan meskipun besarnya tidak signifikan. Hal itu masih jauh dari harapan. Guru PNS yang terendah pangkatnya, mulai dari TK sampai SMA akan mendapat gaji minimal Rp 2 juta. Kenaikan subsidi tunjangan untuk guru non-PNS itu yang ada dalam daftar Depdiknas maupun di Departemen Agama. Tunjangan yang bergelar sarjana dinaikkan Rp 100.000 dan yang belum sarjana dinaikkan Rp 50.000 per bulan (SP,10/9/08).

Profesi seorang guru dalam ranah lembaga pendidikan manapun (negeri atau swasta) memiliki tugas dan tanggung jawab yang sama di hadapan orang tua, siswa maupun masyarakat, yaitu mengajar, mendidik, membimbing, mendampingi dan mengevaluasi siswa. Namun, saat terjadi pembedaan tunjangan kesejahteraan antara yang berstatus Pegawai Negeri Sipil (PNS) dengan non-PNS termasuk guru honorer layak ditanyakan. Di manakah rasa keadilan itu diberikan kepada guru? Sebab, bila sudah terjadi ketidakadilan gaji, bagaimana dengan tuntutan profesionalitas?

Prinsipnya guru swasta tidak terlalu menuntut untuk diistimewakan. Yang dibutuhkan sebuah penghargaan dengan keseimbangan status dengan guru PNS. Keadilan, persamaan hak, dan kesejahteraan sehingga mampu menghayati dalam melaksanakan tugasnya secara bertanggung jawab.

Dalam UU No 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen tertulis bahwa guru disebut baik (profesional) apabila berkualifikasi S1/D4. Mempunyai kompetensi kepribadian, pedagogik, profesional, dan sosial yang memadai, sehat jasmani dan rohani serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan Nasional. Itu berlaku bagi semua guru yang bersentuhan dengan peserta didik (siswa).

Itu semua harus diwujudnyatakan oleh seorang guru tanpa memandang status. Namun, bila pembedaan jaminan kesejahteraan sudah kasat mata, optimalisasi pemberdayaan dan pelayanan kepada siswa menjadi terbatas. Sebab dari implikasi kenaikan berbagai kebutuhan pokok menjadikan tidak seimbangnya antara penghasilan dengan pengeluaran, sehingga berefek konsentrasi kerja yang bias (kurang fokus).

Tuntutan profesional kinerja guru diberikan kepada Negara
namun, sayang jaminan sosial (kesejahteraan) terabaikan.

Diskriminasi guru PNS dan non-PNS dalam pemberian kesejahteraan sudah menjadi “ritual” tahunan. Dapat dilihat menjelang lebaran tidak sedikit guru PNS melalui kebijakan Pemerintahan Daerah (sejalan otonomi daerah)
dengan memperoleh Tujangan Hari Raya (THR).

Begitu pula hampir tiap tahun Negara menggelontorkan anggaran untuk memberi gaji ke-13 bagi PNS termasuk guru. Secara substansial penganaktirian selalu menimpa guru non-PNS, sehingga semakin mengalami belenggu kemiskinan finansial, kreativitas, kul- tural, emosional, intelektual, spiritual dan material.

Akhirnya, banyak usaha yang dilakukan guru non-PNS, guru
tidak tetap (GTT) dan honorer. Usaha sampingan semakin lazim dilakukan untuk memenuhi kebutuhan. Tugas utama sebagai pendidik terabaikan dengan kurang membaca, belajar, malas mengadakan pendampingan, meneliti, menulis, dan tidak mau berinovasi dengan melek iptek, sehingga panggilan sebagai guru profesionalitas dengan mengembangkan Informasi Teknologi (IT) tergadaikan kondisi.

Sedang upaya lain untuk memperjuangkan haknya baik melalui aksi demo massal, mogok mengajar, mogok makan, sampai beramai-ramai mengadu nasib mereka kepada anggota Dewan dan pemerintah. Lalu siapakah yang dikorbankan bila konsentrasi dalam menjalankan tugasnya tidak fokus? Tidak hanya siswa, orangtua dan masyarakat, namun Pemerintah juga dianggap gagal untuk melaksanakan amanat negara “mencerdaskan kehidupan bangsa”.

Namun, seringkali apresiasi dari pemerintah kurang menentramkan. Seringkali jawaban yang diberikan saat ada tuntutan melalui demo hanya lips service belaka. Janji tunjangan fungsional dan kesejahteraan dalam implementasinya sering kurang merata. Guru non-PNS (swasta) jenuh akan janji yang dibutuhkan adalah langkah konkret yang membumi.

Sebuah koreksi dan revisi kebijakan layak dilakukan demi
ikut mengangkat harkat, derajat dan martabat guru non- PNS.
Sebab pengabdian (loyalitas), pelayanan, pengorbanan guru swasta berkenaan pengalaman mengajar, membimbing dan mendidik pasti berani dikompetisikan dengan guru PNS.

Data dan sasaran

Saat ditanya berapa jumlah guru di Indonesia dengan mudah
diketahui jawabannya, termasuk yang berstatus PNS dan non-
PNS. Dilihat dari data Direktorat Jenderal Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga Kependidikan (PMPTK) Depdiknas tahun 2007, jumlah guru semua tingkat pendidikan yang berstatus PNS sebanyak 1.528.472 guru dan non-PNS sebanyak 1.254.849 guru dengan total jumlah total se-Indonesia 2.783.321 guru. Termasuk yang mau pensiun sebagai PNS. Tiga tahun kedepan jumlah guru sebanyak 222.343 guru dan lima tahun
kedepan 470.297 Guru

Jelas sekali bahwa jumlah guru secara nasional dapat dilihat dan diketahui bersama. Karena secara periodik sekolah (negeri/swasta) diminta mengirim data gurunya yang terbaru sesuai status kepegawaiannya. Pendataan itu sebagai upaya monitoring, evaluasi dalam melaksanakan sertifikasi guru sebagai upaya meningkatkan kesejahteraan guru.

Dengan bertambahnya penghasilan guru tahun 2009 belumlah bisa dianggap mencukupi kebutuhan terkhusus bagi guru yang berstatus non-PNS. Sebab, selain gaji guru non-PNS di daerah tidak sama besar antar sekolah. Penggajian selalu disesuaikan dengan kemampuan pengelola sekolah dan
yayasan.

Sudah menjadi kebiasaan umum saat pemerintah mengumumkan kenaikan gaji, harga kebutuhan pokok lain sudah mendahului untuk naik. Maka, seberapa besar kenaikan gaji memang tidak bisa menjadi patokan sebagai standar hidup. Bahkan, di kota Solo sendiri banyak guru non -PNS yang mengajar di sekolah swasta gaji yang diperolehnya dalam sebulan masih di bawah Upah Minimum Regional (UMR) dan Upah Minimum Kota (UMK). Realitanya mereka juga mampu untuk memenuhi segala kebutuhan.

Dengan melihat data guru secara nasional baik PNS dan non-
PNS dan gaji penghasilan yang diterima seharusnya pemerintah bisa menghitung alokasi anggaran dana untuk menambah penghasilan (kesejahteraan). Janganlah terus terjadi pembedaan gaji hanya karena status kepegawaian.

Yang perlu menjadi patokan bisa mulai masa kerja, kualifikasi pendidikan, kinerja dan prestasi. Sebab semuanya mempunyai tanggungjawab sama dalam mengelola pendidikan. Peranan dan kerja keras guru swasta dalam ikut mendidik jangan dipandang sebelah mata. Sungguh sangat dibutuhkan eligibilitas (pengakuan) guru non- PNS dalam kesetaraan kesejahteraan.

Penulis adalah Guru Swasta SMA Pangudi Luhur Santo Yosef Surakarta